Blog ini berisi tulisan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi A UNJ angkatan 2015 tentang permasalahan pendidikan. Seluruh tulisan ini dibuat sebagai syarat mengikuti Ujian Akhir Semester mata kuliah Bahasa Indonesia, Juni 2016.



Tasya Anggita: Pendidikan Sebagai Pemberdayaan Masyarakat


Untuk memodernisasikan masyarakat, pemerintah harus berpegang pada keyakinan bahwa pendidikan tidak saja dipandang sebagai investasi modal, tetapi ia juga didudukan sebagai investasi ekonomi. Untuk membangun suatu masyarakat diperlukan komitmen yang tinggi terhadap peningkatan mutu dan kapasitas masyarakat. Jalan yang paling penting untuk meningkatkan kapasitas dan mutu masyarakat ini tiada pilihan lain selain mendidik masyarakat lewat lembaga pendidikan atau sekolah. Saya menduga bahwa pendidikan diposisikan sebagai ”pendidikan menjaga masyarakat agar tetap pada level yang tinggi”. Ini berarti bahwa Indonesia secara serius harus menyiapkan bangsanya agar mampu memasuki area ’pengetahuan ekonomi’ dengan penguasaan bidang-bidang keahlian yang menjadi persyaratan untuk itu. Tidak ada pikiran bahwa peningkatan kapasitas dan mutu masyarakat dapat dilakukan dengan cara ’short cut’. Semua itu harus dilakukan secara terencana sistematis, tekun, dan berkomitmen tinggi. Kita harus membentuk kelas menengah ini dengan perencanaan, ’by design’. Kita tidak boleh lagi membiarkan masyarakat kita tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Pemerintah seolah-olah berdiam diri, tak banyak melakukan perbuatan untuk mendorong agar kapasitas dan mutu masyarakat meningkat dengan cepat.

Hampir 60 tahun yang lalu, Universitas-universitas di jerman telah menjadi lembaga yang terunggul di dunia. Mereka menguasai kiblat pendidikan di dunia, karena mereka telah menjelma menjadi lembaga peraih nobel dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Hampir setiap tahun telah lahir penerima nobel dari universitas-universitas di jerman seperti Heidelberg University, Gottingen University, dan sebagainya. Namun belakangan ini reputasi itu mulai luntur. Posisi peraih nobel telah lama bergeser kepada akademikus yang berasal dari yang berasal dari universitas-universitas di Amerika seperti Harvard,Princeton, dan Stanford. Universitas-universitas di jerman ini sedang mengalami ’tidur nyenyak’. Mereka tampak sibuk dengan dirinya sendiri. Kebesaran yang sebelumnya disandang telah mulai dialihkan kepada universitas lain.

Universitas-universitas di jerman tersebut, menurut pandangan saya, sekarang ini sedang mengalami ’overcroweded underfinanced’. Mereka melakukan perekrutan massal calon mahasiswa, akibatnya mereka juga menghasilkan lulusan yang ’outdated skill’. Kebijakan universitas telah melampaui ’kemampuan manajerial’ sebuah lembaga universitas, sehingga lembaga universitas telah berubah menjadi institusi ’toko kelontong’, yang menyediakan berbagai tawaran kepada masyarakat. Efek dari semua kebijakan itu adalah bahwa fokus dari kegiatan univesitas sudah mengalami kekaburan. Lembaga universitas telah menjadi lembaga kursus. Ia tidak lagi menjadi institusi yang kelompok orang yang memiliki kemampuan yang brilian dalam bidang dan disiplin ilmu tertentu.

Masalah seperti diatas berlangsung terus. Universitas-universitas berlomba untuk bertahan hidup dengan komitmen pembiayaan yang rendah dari pemerintah. Inovasi dan kerja kreatif yang diharapkan kepada warga universitas terhalang oleh kendala biaya. Universitas masing-masing mencari jalan pintas melalui mekanisme pencarian pembiayaan dari semua orang yang berkepentingan . Fokus pencarian itu semua diletakkan pada calon mahasiswa. Akibat dari cara-cara seperti ini rekuitmen calon mahasiswa menjadi sangat longgar. Persyaratan akademik dan kemampuan lainnya diletakkan menjadi nomor urut belakang. Persyaratan kemampuan finansial menjadi pertimbangan yang ’selalu’ mengalahkan pertimbangan kemampuan akademik.

Kalaulah universitas di indonesia ingin bersaing melakukan kompetisi dengan lembaga universitas luar negeri ,masalah birokrasi seperti diatas harus segera diselesaikan. Kalau tidak, peristiwa seperti yang terjadi pada lembaga universitas jerman tidak mustahil juga terjadi di Indonesia . Universitas-universitas di Indonesia hanya terkenal karena rekrutmen calon mahasiswanya yang banyak, tetapi tidak akan pernah terdengar lewat hasil karya yang telah dihasilkan .”Bureaucratic solution” menjadi salah satu kunci memperbaiki wajah universitas kita agar ia masih memiliki wibawa dan reputasi.

saya berkeyakinan bahwa masyarakat kita di Indonesia, dan juga ekonomi kita akan berkembang dan terus survive bila kita mau membuka diri terhadap orang lain untuk belajar di lembaga-lembaga univesitas kita. Kita harus membangun universitas kita tersebut menjadi suatu institusi yang berkualitas dunia. Dengan demikian dia akan menjadi daya tarik bagi orang asing untuk belajar di lembaga-lembaga pedidikan kita. Efek dari semua ini ,lembaga-lembaga pendidikan kita harus mampu menciptakan gelombang kegiatan ekonomi baru di dalam masyarakat melalui apa yang penulis sebut sebagai ’education tourism”. Bangsa Indonesia telah lama terbiasa melakukan hubungan sosial dalam bingkai pluralisme, warna-warni, sehingga memunculkan autentisitas karakteristik hubungan satu sama lain. Justru kekuatan semacam ini yang telah lama merakat bingkai hubungan sosial kita menjadi apa yang saya sebut sebagai hubungan sosial yang kuat. Suatu hubungan sosial yang belakangan ini seperti diporakporandakan oleh politik kepentingan beberapa orang yang ingin mengambil keuntungan di tengah anomali sejarah Indonesia. Itulah modal sosial kita bersama.

Selain masalah-masalah universitas diatas, kita juga perlu memperhatikan pada tingkat pendidikan sebelum universitas, yaitu sekolah. Saya menduga bahwa tidak ada satu sekolah pun yang terlepas dari ’semangat mencari uang’ dengan cara menaikkan ’harga kursi’ di sekolah bagi calon siswa. Praktek semacam ini menjadi semakin gila ketika ’harga sebuah kursi’ di sekolah itu dapat dilakukan dengan tawar menawar. Dalam situasi semacam itu, lembaga sekolah tidak dapat lagi menjadi institusi yang mengajarkan ’kebenaran’, ketulusan dan kejujuran. Sekolah telah banyak ’meracuni’ nilai-nilai. Bahkan sekolah banyak mengajarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan sikap hidup masyarakat. Sekedar untuk bahan retropeksi kemungkinan kita akan segera gagal memberikan pelajaran, karena kita berdiri dari sudut pandang kita sendiri sebagai orang tua atau orang dewasa. Kita memerlukan kontrol sosial terhadap peradaban kita. Kontrol sosial merupakan prasyarat penting bagi masyarakat modern. Kita memerlukan orang-orang yang berani mengatakan tidak bagi orang-orang yang menerapkan ’bad habits’ dilingkungan sekolah. Tetapi kita juga memerlukan upaya yang sama di tingkat yang lebih atas, di tingkat pengambil kebijakan.

Banyak kalangan meramalkan bahwa setelah Indonesia berada pada masa transisi akhir era reformasi, keadaan akan segera berubah. Peluang untuk melaksanakan pembangunan akan lebih terbuka dan gangguan akan penyelenggaraan pemerintahan lebih sedikit dibandingkan ketika masa reformasi berlangsung. Anggapan yang penuh harapan itu tidaklah hanya sekedar keinginan yang terpatri didalam hati masyarakat, tetapi harapan semacam itu menjadi besar setelah rakyat Indonesia disajikan beragam informasi tentang apa saja yang akan segera dikerjakan oleh pemerintahan yang dipilih secara demokratis.

Program pendidikan menjadi salah satu issue terpenting yang dijadikan ukuran oleh setiap rakyat. Kegiatan dalam praktek pendidikan resmi seperti sekolah, universitas, ataupun di dalam lingkup pergaulan masyarakat, dapat mencerminkan bagaimana suatu pemerintahan meletakkan pendidikan sebagai program prioritas untuk memodernisasikan rakyatnya. Pengamatan terhadap praktek-praktek pendidikan, komitmen terhadap pentingnya pendidikan yang diungkapkan dalam buku ini banyak memberikan gambaran tentang bagaimana pendidikan harus diposisikan sebagai harapan masa depan suatu bangsa. Apa yang dibahas didalam buku ini, merupakan sebagian masalah penting yang bersentuhan langsung dengan praktek pendidikan.

Komentar