Untuk memodernisasikan masyarakat,
pemerintah harus berpegang pada keyakinan bahwa pendidikan tidak saja dipandang
sebagai investasi modal, tetapi ia juga didudukan sebagai investasi ekonomi.
Untuk membangun suatu masyarakat diperlukan komitmen yang tinggi terhadap
peningkatan mutu dan kapasitas masyarakat. Jalan yang paling penting untuk
meningkatkan kapasitas dan mutu masyarakat ini tiada pilihan lain selain
mendidik masyarakat lewat lembaga pendidikan atau sekolah. Saya menduga bahwa
pendidikan diposisikan sebagai ”pendidikan menjaga masyarakat agar tetap pada
level yang tinggi”. Ini berarti bahwa Indonesia secara serius harus menyiapkan
bangsanya agar mampu memasuki area ’pengetahuan ekonomi’ dengan penguasaan
bidang-bidang keahlian yang menjadi persyaratan untuk itu. Tidak ada pikiran
bahwa peningkatan kapasitas dan mutu masyarakat dapat dilakukan dengan cara
’short cut’. Semua itu harus dilakukan secara terencana sistematis, tekun, dan
berkomitmen tinggi. Kita harus membentuk kelas menengah ini dengan
perencanaan, ’by design’. Kita tidak boleh lagi membiarkan masyarakat kita
tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Pemerintah seolah-olah berdiam diri,
tak banyak melakukan perbuatan untuk mendorong agar kapasitas dan mutu
masyarakat meningkat dengan cepat.
Hampir 60 tahun yang lalu,
Universitas-universitas di jerman telah menjadi lembaga yang terunggul di dunia. Mereka menguasai kiblat pendidikan di dunia, karena mereka telah menjelma
menjadi lembaga peraih nobel dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Hampir
setiap tahun telah lahir penerima nobel dari universitas-universitas di jerman
seperti Heidelberg University, Gottingen University, dan sebagainya. Namun
belakangan ini reputasi itu mulai luntur. Posisi peraih nobel telah lama
bergeser kepada akademikus yang berasal dari yang berasal dari
universitas-universitas di Amerika seperti Harvard,Princeton, dan Stanford.
Universitas-universitas di jerman ini sedang mengalami ’tidur nyenyak’. Mereka
tampak sibuk dengan dirinya sendiri. Kebesaran yang sebelumnya disandang telah
mulai dialihkan kepada universitas lain.
Universitas-universitas di jerman
tersebut, menurut pandangan saya, sekarang ini sedang mengalami ’overcroweded
underfinanced’. Mereka melakukan perekrutan massal calon mahasiswa, akibatnya
mereka juga menghasilkan lulusan yang ’outdated skill’. Kebijakan universitas
telah melampaui ’kemampuan manajerial’ sebuah lembaga universitas, sehingga
lembaga universitas telah berubah menjadi institusi ’toko kelontong’, yang
menyediakan berbagai tawaran kepada masyarakat. Efek dari semua kebijakan itu
adalah bahwa fokus dari kegiatan univesitas sudah mengalami kekaburan. Lembaga
universitas telah menjadi lembaga kursus. Ia tidak lagi menjadi institusi yang
kelompok orang yang memiliki kemampuan yang brilian dalam bidang dan disiplin
ilmu tertentu.
Masalah seperti diatas berlangsung
terus. Universitas-universitas berlomba untuk bertahan hidup dengan komitmen
pembiayaan yang rendah dari pemerintah. Inovasi dan kerja kreatif yang
diharapkan kepada warga universitas terhalang oleh kendala biaya. Universitas
masing-masing mencari jalan pintas melalui mekanisme pencarian pembiayaan dari
semua orang yang berkepentingan . Fokus pencarian itu semua diletakkan pada
calon mahasiswa. Akibat dari cara-cara seperti ini rekuitmen calon mahasiswa
menjadi sangat longgar. Persyaratan akademik dan kemampuan lainnya diletakkan
menjadi nomor urut belakang. Persyaratan kemampuan finansial menjadi
pertimbangan yang ’selalu’ mengalahkan pertimbangan kemampuan akademik.
Kalaulah universitas di indonesia
ingin bersaing melakukan kompetisi dengan lembaga universitas luar negeri
,masalah birokrasi seperti diatas harus segera diselesaikan. Kalau tidak,
peristiwa seperti yang terjadi pada lembaga universitas jerman tidak mustahil
juga terjadi di Indonesia . Universitas-universitas di Indonesia hanya terkenal
karena rekrutmen calon mahasiswanya yang banyak, tetapi tidak akan pernah
terdengar lewat hasil karya yang telah dihasilkan .”Bureaucratic solution”
menjadi salah satu kunci memperbaiki wajah universitas kita agar ia masih
memiliki wibawa dan reputasi.
saya berkeyakinan bahwa masyarakat
kita di Indonesia, dan juga ekonomi kita akan berkembang dan terus survive bila
kita mau membuka diri terhadap orang lain untuk belajar di lembaga-lembaga
univesitas kita. Kita harus membangun universitas kita tersebut menjadi suatu
institusi yang berkualitas dunia. Dengan demikian dia akan menjadi daya tarik
bagi orang asing untuk belajar di lembaga-lembaga pedidikan kita. Efek dari
semua ini ,lembaga-lembaga pendidikan kita harus mampu menciptakan gelombang
kegiatan ekonomi baru di dalam masyarakat melalui apa yang penulis sebut
sebagai ’education tourism”. Bangsa Indonesia telah lama terbiasa melakukan
hubungan sosial dalam bingkai pluralisme, warna-warni, sehingga memunculkan
autentisitas karakteristik hubungan satu sama lain. Justru kekuatan semacam ini
yang telah lama merakat bingkai hubungan sosial kita menjadi apa yang saya
sebut sebagai hubungan sosial yang kuat. Suatu hubungan sosial yang belakangan
ini seperti diporakporandakan oleh politik kepentingan beberapa orang yang
ingin mengambil keuntungan di tengah anomali sejarah Indonesia. Itulah modal
sosial kita bersama.
Selain masalah-masalah universitas
diatas, kita juga perlu memperhatikan pada tingkat pendidikan sebelum
universitas, yaitu sekolah. Saya menduga bahwa tidak ada satu sekolah pun yang
terlepas dari ’semangat mencari uang’ dengan cara menaikkan ’harga kursi’
di sekolah bagi calon siswa. Praktek semacam ini menjadi semakin gila ketika
’harga sebuah kursi’ di sekolah itu dapat dilakukan dengan tawar menawar. Dalam
situasi semacam itu, lembaga sekolah tidak dapat lagi menjadi institusi yang
mengajarkan ’kebenaran’, ketulusan dan kejujuran. Sekolah telah banyak ’meracuni’ nilai-nilai. Bahkan sekolah banyak mengajarkan nilai-nilai yang
bertentangan dengan sikap hidup masyarakat. Sekedar untuk bahan retropeksi
kemungkinan kita akan segera gagal memberikan pelajaran, karena kita berdiri
dari sudut pandang kita sendiri sebagai orang tua atau orang dewasa. Kita
memerlukan kontrol sosial terhadap peradaban kita. Kontrol sosial merupakan
prasyarat penting bagi masyarakat modern. Kita memerlukan orang-orang yang
berani mengatakan tidak bagi orang-orang yang menerapkan ’bad habits’
dilingkungan sekolah. Tetapi kita juga memerlukan upaya yang sama di tingkat
yang lebih atas, di tingkat pengambil kebijakan.
Banyak kalangan meramalkan bahwa
setelah Indonesia berada pada masa transisi akhir era reformasi, keadaan akan
segera berubah. Peluang untuk melaksanakan pembangunan akan lebih terbuka dan
gangguan akan penyelenggaraan pemerintahan lebih sedikit dibandingkan ketika
masa reformasi berlangsung. Anggapan yang penuh harapan itu tidaklah hanya
sekedar keinginan yang terpatri didalam hati masyarakat, tetapi harapan semacam
itu menjadi besar setelah rakyat Indonesia disajikan beragam informasi tentang
apa saja yang akan segera dikerjakan oleh pemerintahan yang dipilih secara
demokratis.
Program pendidikan menjadi salah satu
issue terpenting yang dijadikan ukuran oleh setiap rakyat. Kegiatan dalam
praktek pendidikan resmi seperti sekolah, universitas, ataupun di dalam lingkup
pergaulan masyarakat, dapat mencerminkan bagaimana suatu pemerintahan
meletakkan pendidikan sebagai program prioritas untuk memodernisasikan
rakyatnya. Pengamatan terhadap praktek-praktek pendidikan, komitmen terhadap
pentingnya pendidikan yang diungkapkan dalam buku ini banyak memberikan
gambaran tentang bagaimana pendidikan harus diposisikan sebagai harapan masa
depan suatu bangsa. Apa yang dibahas didalam buku ini, merupakan sebagian
masalah penting yang bersentuhan langsung dengan praktek pendidikan.
Komentar
Posting Komentar