Pendidikan di era ini dapat dikatakan
sebagai suatu kebutuhan primer. Pendidikan dinilai sebagai suatu modal yang
harus dimiliki, terlebih jika melihat fungsi pendidikan sebagai mobilisator.
Modal inilah yang akan membantu kita mewujudkan harapan dan cita-cita, serta
mengharumkan dan memajukan bangsa Indonesia.
Berbicara mengenai bangsa, Indonesia
merupakan negara multikultural, yang berarti memiliki beragam budaya.
Keberagaman budaya inilah yang membuat Indonesia memiliki tantangan tersendiri
yang tidak semua negara miliki. Salah satu tantangan yang harus dihadapi ialah
menjadi negara yang rawan akan konflik. Konflik tersebut terjadi di berbagai
bidang, tak terkecuali pendidikan. Dengan banyaknya pulau dan padatnya jumlah
penduduk Indonesia, proses transmigrasi dan urbanisasi menjadi hal lazim yang
terjadi di Indonesia. Hal ini menyebabkan terjadinya heterogenitas dalam
masyarakat.
Pada dasarnya, letak geografis
Indonesia menyebabkan perbedaan karakteristik dari masing-masing budaya.
Contohnya saja karakter suku Batak yang terkenal keras dan karakter suku Jawa
yang terkenal lemah lembut. Heterogenitas dapat menjadi negatif maupun positif.
Negatifnya dapat terjadi konflik, positifnya toleransi antarsuku berjalan
dengan baik. Dampak negatif ini dapat diminimalisir dengan pendidikan
multikultural, sehingga tantangan bagi Indonesia dapat kita ubah menjadi sebuah
peluang. Dengan menambahkan pendidikan multikultural, diharapkan bangsa
Indonesia mampu mencapai kesatuan, mencapai cita-cita bangsa, dan mengharumkan
nama bangsa. Namun nyatanya masih banyak segelintir masalah pendidikan.
Pendidik haruslah dapat diteladani, bukan berarti peserta didik harus mengikuti
semua perkataan dan perbuatan pendidik. Menurut Ivan Illich, setiap manusia bisa
mengotonomikan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, peserta didik harusnya memiliki
pendirian dan kekhasan tersendiri, terutama mempertahankan budayanya.
Saat ini masalah pendidikan yang cukup
krusial adalah mengenai penyeragaman. Penyeragaman yang dimaksud ialah
penyeragaman karakter peserta didik yang harus sesuai dengan pendidik.
Misalnya, pendidik bersuku sunda menegur peserta didik bersuku batak karena
pendidik menilai nada bicara peserta didik terlalu tinggi. Hal tersebut
termasuk dalam kekerasan simbolik, namun banyak pihak yang belum menyadari hal
tersebut. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, secara tidak sadar kekhasan
suku yang dimiliki akan luntur secara perlahan. Oleh sebab itu, pendidikan
multikultural harus berjalan, baik untuk peserta didik maupun pendidik. Dengan
begitu, Indonesia akan mencapai cita-citanya dengan tetap mempertahankan
keberagaman budaya Indonesia.
Komentar
Posting Komentar