Pendidikan adalah wadah bagi
masyarakat untuk mengembangkan potensi dan untuk menciptakan masyarakat yang
bermoral. Namun, pendidikan Indonesia hari ini banyak diwarnai dengan konflik
dan kekerasan (bullying). Pada tahun 2015 tercatat lebih dari 30 kasus
kekerasan terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia.
Bullying adalah perilaku agresi atau manipulasi yang dapat berupa
kekerasan fisik, verbal, atau psikologis; dengan sengaja dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang yang merasa kuat/berkuasa dengan tujuan
menyakiti atau merugikan seseorang atau sekelompok yang merasa tidak berdaya
(Olweus 1997; Rigby 1997; Sullivan 2001; Crick dan Bigbee 1998; Duncan 1999;
Ma, Stein dan Mah 2001; Sullivan, Mark, dan Sullivan 2005). Johan
Galtung membagi tipologi kekerasan menjadi tiga yaitu kekerasan langsung,
kekerasan kultural, dan kekerasan struktural.
Kekerasan langsung terwujud dalam
perilaku, misalnya pembunuhan, pemukulan, intimidasi, dan penyiksaan. Kekerasan
langsung merupakan tanggung jawab individu, dalam arti individu yang melakukan
tindak kekerasan akan mendapat hukuman menurut ketentuan hukum pidana.
Kekerasan struktural (kekerasan yang
melembaga) disebut juga sebuah proses dari terjadinya kekerasan. Kekerasan
struktural terwujud dalam konteks, sistem, dan struktur. Misalnya diskriminasi
dalam pendidikan, pekerjaan, dam pelayanan kesehatan. Kekerasan struktural
merupakan bentuk tanggung jawab negara, muaranya ada pada sistem hukum pidana
yang berlaku.
Kekerasan kultural merupakan suatu
bentuk kekerasan permanen. Terwujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang
dianut dalam masyarakat, misalnya kebencian, ketakutan, rasisme, aspek-aspek
budaya, ranah simbolik yang ditunjukkan oleh agama dan ideologi, serta ilmu
pengetahuan.
Pelaku bullying di sekolah
umumnya dilakukan oleh siswa sendiri. Kekerasan langsung, structural,kultur
secara verbal adalah kekerasan yang banyak terjadi di sekolah dan susah untuk
dihilangkan. Musababnya, kekerasan verbal seringkali tidak disadari oleh
pelaku dan korban kekerasan. Kata-kata kasar, jorok, umpatan, dan sebagainya
sudah menjadi hal yang lumrah di beberapa sekolah. Kasus bullying yang
dilakukan oleh siswa kepada temannya merupakan salah satu contoh degradasi
moral atau kemerosotan moral.
Kemorosotan moral bukan hanya terjadi
pada siswa, melainkan juga pada guru. Kekerasan yang dilakukan oleh guru
umumnya sering disalahartikan sebagai bentuk atau model pembelajaran. Salah
satu contoh kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada murid yang
baru-baru ini terjadi yaitu kasus kekerasan yang dilakukan oleh salah satu guru
SMP 1 Bantaeng yang mencubit salah satu muridnya. Kasus tersebut menjadi
fenomenal dengan berujungnya penahanan dan penetapan guru tersebut sebagai
tersangka pelaku kekerasan.
Kasus tersebut semakin controversial dengan
munculnya perbedaan pendapat dari banyak pihak. Ada pihak yang membela guru
tersebut, ada pula yang membela murid. Mereka yang membela guru tersebut,
menganggap bahwa kasus yang dilakukannya adalah hal yang wajar sehingga tidak
perlu dilaporkan kepada polisi. Kasus ini juga menuai banyak sindiran dari
beberapa pihak yang berprofesi sama sebagai guru, lantaran orang tua korban
yang melapor adalah seorang polisi sehingga mereka menganggap kasus ini terlalu
dibesar-besarkan.
Secara psikologi, kasus tersebut
merupakan bentuk kekerasan fisik dan bisa menimbulkan efek negatif. Dampak
negatif yang dapat dirasakan oleh korban bullying bisa berupa
korban merasakan kesulitan tidur, sulit berkonsentrasi, trauma, dan yang paling
parah adalah korban bullying bisa melakukan bunuh diri.
Terlepas dari itu, dunia pendidikan
haruslah bersih dari tindak kekerasan. Baik itu kekerasan fisik, maupun verbal.
Kekerasan sekecil apapun yang didapatkan oleh seseorang akan berdampak besar bagi
perkembangan jiwanya, Karena seorang korban juga bisa berbalik menjadi
pelaku (Olweus 1993; Rigby 2008).
Komentar
Posting Komentar