Blog ini berisi tulisan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi A UNJ angkatan 2015 tentang permasalahan pendidikan. Seluruh tulisan ini dibuat sebagai syarat mengikuti Ujian Akhir Semester mata kuliah Bahasa Indonesia, Juni 2016.



Yulia Adiningsih: Kekerasan dalam Pendidikan Indonesia


Pendidikan adalah wadah bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi dan untuk menciptakan masyarakat yang bermoral. Namun, pendidikan Indonesia hari ini banyak diwarnai dengan konflik dan kekerasan (bullying). Pada tahun 2015 tercatat lebih dari 30 kasus kekerasan terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia.

Bullying adalah perilaku agresi atau manipulasi yang dapat berupa kekerasan fisik, verbal, atau psikologis; dengan sengaja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa kuat/berkuasa dengan tujuan menyakiti atau merugikan seseorang atau sekelompok yang merasa tidak berdaya (Olweus 1997; Rigby 1997; Sullivan 2001; Crick dan Bigbee 1998; Duncan 1999; Ma, Stein dan Mah 2001; Sullivan, Mark, dan Sullivan 2005). Johan Galtung membagi tipologi kekerasan menjadi tiga yaitu kekerasan langsung,  kekerasan kultural, dan kekerasan struktural.

Kekerasan langsung terwujud dalam perilaku, misalnya pembunuhan, pemukulan, intimidasi, dan penyiksaan. Kekerasan langsung merupakan tanggung jawab individu, dalam arti individu yang melakukan tindak kekerasan akan mendapat hukuman menurut ketentuan hukum pidana.

Kekerasan struktural (kekerasan yang melembaga) disebut juga sebuah proses dari terjadinya kekerasan. Kekerasan struktural terwujud dalam konteks, sistem, dan struktur. Misalnya diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, dam pelayanan kesehatan. Kekerasan struktural merupakan bentuk tanggung jawab negara, muaranya ada pada sistem hukum pidana yang berlaku.

Kekerasan kultural merupakan suatu bentuk kekerasan permanen. Terwujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, misalnya kebencian, ketakutan, rasisme, aspek-aspek budaya, ranah simbolik yang ditunjukkan oleh agama dan ideologi, serta ilmu pengetahuan.

Pelaku bullying di sekolah umumnya dilakukan oleh siswa sendiri. Kekerasan langsung, structural,kultur secara verbal adalah kekerasan yang banyak terjadi di sekolah dan susah untuk dihilangkan. Musababnya,  kekerasan verbal seringkali tidak disadari oleh pelaku dan korban kekerasan. Kata-kata kasar, jorok, umpatan, dan sebagainya sudah menjadi hal yang lumrah di beberapa sekolah. Kasus bullying yang dilakukan oleh siswa kepada temannya merupakan salah satu contoh degradasi moral atau kemerosotan moral.

Kemorosotan moral bukan hanya terjadi pada siswa, melainkan juga pada guru. Kekerasan yang dilakukan oleh guru umumnya sering disalahartikan sebagai bentuk atau model pembelajaran. Salah satu contoh kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada murid yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus kekerasan yang dilakukan oleh salah satu guru SMP 1 Bantaeng yang mencubit salah satu muridnya. Kasus tersebut menjadi fenomenal dengan berujungnya penahanan dan penetapan guru tersebut sebagai tersangka pelaku kekerasan.

Kasus tersebut semakin controversial dengan munculnya perbedaan pendapat dari banyak pihak. Ada pihak yang membela guru tersebut, ada pula yang membela murid. Mereka yang membela guru tersebut, menganggap bahwa kasus yang dilakukannya adalah hal yang wajar sehingga tidak perlu dilaporkan kepada polisi. Kasus ini juga menuai banyak sindiran dari beberapa pihak yang berprofesi sama sebagai guru, lantaran orang tua korban yang melapor adalah seorang polisi sehingga mereka menganggap kasus ini terlalu dibesar-besarkan.

Secara psikologi, kasus tersebut merupakan bentuk kekerasan fisik dan bisa menimbulkan efek negatif. Dampak negatif yang dapat dirasakan oleh korban bullying bisa berupa korban merasakan kesulitan tidur, sulit berkonsentrasi, trauma, dan yang paling parah adalah korban bullying bisa melakukan bunuh diri.

Terlepas dari itu, dunia pendidikan haruslah bersih dari tindak kekerasan. Baik itu kekerasan fisik, maupun verbal. Kekerasan sekecil apapun yang didapatkan oleh seseorang akan berdampak besar bagi perkembangan jiwanya, Karena seorang korban juga  bisa berbalik menjadi pelaku (Olweus 1993; Rigby 2008).

Komentar