Salah satu bentuk karakter manusia yang menjadi acuan kemajuan suatu bangsa adalah karakter jujur. Pengertian jujur sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai sikap lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Mengingat betapa pentingnya sikap jujur dalam kehidupan manusia, maka sikap tersebut harus ditanamkan sejak dini. Di dalam dunia pendidikan sendiri, terutama pendidikan formal, pembentukan karakter jujur kepada siswa menjadi salah satu komponen penting yang dapat menciptakan generasi bangsa yang berakhlak dan bermoral baik.
Pembentukan karakter jujur pada
pendidikan formal dapat diterapkan dalam beberapa cara. Salah satu cara yang
dapat digunakan adalah membiasakan siswa untuk tidak menyontek pada saat
ulangan berlangsung. Perilaku menyontek saat ulangan sama artinya dengan
perilaku tidak jujur. Tentu saja hal ini bertentangan dengan pembentukan
karakter yang akan dilakukan sekolah. Sekolah bisa saja memberikan sanksi
kepada siswa yang ketahuan menyontek, seperti yang dilakukan oleh SMP dan SMA
Kolese Kanisius Jakarta. Apabila siswa SMP tersebut ketahuan menyontek satu
kali, maka siswa tersebut tidak diizinkan bersekolah di SMA Kolese Kanisius.
Sementara itu, apabila ketahuan dua kali, siswa tersebut langsung dikeluarkan
dari sekolah tanpa adanya peringatan. Hal yang demikian juga dilakukan oleh SMA
yang terletak di daerah Menteng ini. Hanya saja yang membedakan, apabila sekali
ketahuan menyontek, maka langsung dikeluarkan dari sekolah.
Pembentukan karakter jujur lainnya
juga berlaku di SMA Kolese Gonzaga Jakarta yang juga menjadi tempat penulis
bersekolah beberapa tahun lalu. SMA yang terletak di daerah Pejaten, Jakarta
Selatan ini selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran di dalam diri
siswa-siswinya. Di setiap ruang kelas terpampang sebuah bingkai foto yang
bertuliskan "Prestasi Yes! Jujur Harus!". Hal tersebut menunjukkan
bahwa prestasi yang baik tidak akan bermakna apabila tidak jujur. Secara tidak
langsung, sekolah ini berusaha menempatkan kejujuran di atas prestasi. Tidak
penting sekolah ini dikenal karena prestasinya yang gemilang, melainkan lebih
membanggakan apabila nilai kejujuran terus tertanam di dalam setiap
alumninya.
Potret kejujuran di kedua sekolah
tersebut menjadi contoh dari sekian banyak sekolah di Indonesia yang mungkin
sudah mampu menanamkan nilai kejujuran kepada siswa-siswinya. Sebenarnya,
pembiasaan diri untuk tidak menyontek ketika ulangan merupakan salah satu cara
menanamkan nilai kejujuran tersebut. Masih banyak cara-cara lainnya yang dapat
dilakukan. Cara lain yang dimaksud adalah dengan membiasakan diri untuk
mencantumkan sumber ketika mengerjakan tugas. Dengan mencantumkan sumber, siswa
secara tidak langsung diharapkan dapat mengerjakan tugas secara jujur dan mau
menghargai hasil karya orang lain.
Memang, membentuk karakter jujur di
sekolah tidak semudah seperti apa yang dibayangkan. Salah satu faktor
penyebabnya adalah masih kentalnya budaya korupsi yang menjadi musuh utama
nilai kejujuran itu sendiri. Banyak para pejabat yang tidak mencerminkan sikap
jujur di dalam kehidupan mereka. Jika dideskripsikan secara kasar, maka
kejujuran bisa dibeli dengan uang. Hal ini tentu saja membuat pilar kejujuran
sulit untuk ditegakkan saat ini. Ada benarnya juga pernyataan
"kejujuran itu menyakitkan" yang sering didengar oleh masyarakat
kita. Namun, pernyataan tersebut jangan dijadikan tameng untuk tidak diterapkan
kepada masyarakat kita. Justru, kesakitan itu harus dilawan melalui diri kita
sendiri. Seberapa kuat kita berbuat jujur, maka semakin berpeluang besar untuk
membawa negara Indonesia ini menuju negara berakhlak mulia dan disegani
dunia.
"Prestasi Yes! Jujur Harus!"
Komentar
Posting Komentar